Minggu, 21 April 2019

Review Buku "Islam, Kepemimpinan Perempuan, dan Seksualitas" Karya Neng Dara Affiah

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh

Pada kesempatan kali ini, saya Sheni Syania mahasiswi Sosiologi UIN Jakarta Semester 4 akan membagikan review buku yang berjudul “Islam, Kepemimpinan Perempuan, dan Seksualitas” yang ditulis oleh dosen saya yang mengajar mata kuliah metode penelitian kualitatif di semester 4, dan mata kuliah teori sosiologi modern di semester 3 yaitu Ibu Neng Dara Affiah. Sebelum kita memulai mereview buku beliau, saya akan memaparkan biodata singkat tentang beliau. Ibu Neng Dara Affiah lahir di Pandeglang, Banten pada 10 Desember 1969. Ia adalah pengajar tetap di Universitas Nahdatul Ulama Indonesia (UNUSIA) program sosiologi dan humaniora, dan menjadi dosen tamu di beberapa universitas, seperti pascasarjana Universitas Indonesia (UI), pascasarjana  Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), dan Sekolah Tinggi Teologi Jakarta (STTJ). Ia juga konsultan The Asia Foundation (TAF) untuk hak-hak konstitusional perempuan (2017), Dewan Pengarah World Culture Forum (WCF) Kemendikbud-Unesco (2016).

Dalam pengalaman organisasi, ia turut membidani berdirinya organisasi Alimat, gerakan perempuan untuk perubahan hukum keluarga Indonesia. Neng Dara menyelesaikan pendidikan Doktor (S3) dan Masternya (S2) di Universitas Indonesia (UI), Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), Departemen Sosiologi dan ia menyelesaikan pendidikan Sarjana S1 pada Institut Agama Islam Negeri (IAIN) “SyarifHidayatullah” Jakarta, Fakultas Ushuluddin (Teologi) Jurusan Perbandingan Agama (1993). Tahun 2007, ia mengikuti pendidikan HAM di New Zealand dan tahun 2004 mengikuti pendidikan Pluralisme Agama di Amerika Serikat.

1. Islam dan Kepemimpinan Perempuan
          Memandang manusia secara setara dengan tidak membeda-bedakannya berdasarkan kelas sosial, ras, dan jenis kelamin adalah salah satu keutamaan ajaran dalam agama Islam. Dalam sejarah Islam, orang yang pertama kali menangkap dan menghayati kebenaran Islam adalah seorang perempuan (Khadijah). Dialah yang meyakinkan Nabi bahwa ia adalah seorang utusan Allah atau disebut dengan Rasulullah yang harus menyampaikan ajaran-Nya kepada umat manusia. Perempuan lain yang paling dekat dan disayang Rasulullah adalah Aisyah. Rasulullah mengajarkan separuh pengetahuan yang dimilikinya kepada Aisyah.

      Kemunculan pemimpin perempuan dalam percatutan masyarakat muslim hampir dipastikan ada hubungannya dengan nama-nama besar yang berkaitan dengan ayah ataupun suaminya. Di negeri ini juga terdapat beberapa perempuan dalam sejarah islam yang menoreh dirinya sebagai pemimpin, diantaranya ada Ratu Tajul Alam Shafiyatuddin Syah, Ratu Nur Alam Naqiyatuddin Syah, Ratu Inaytsyah Zaiyatuddin Syah,  dan  Ratu Kamalat Syah. Lalu di dalam buku ini di jelaskan bahwa walaupun ajaran islam itu sendiri tidak membatasi perempuan untuk menjadi pemimpin, namun pemimpin perempuan itu sendiri masih sedikit di kalangan umat islam. Hal tersebut disebabkan karena banyaknya salah kaprah tentang pemahaman dari ajaran Islam itu sendiri, lalu ego kolektif masyarakat muslim yang melanggengkan nilai-nilai patriarki.

Pokok dari dasar otonomi diri adalah bagaimana perkembangan hidup seseorang, di tentukan dengan bagaimana individu tersebut membawa dirinya didalam kelompok pergaulan dan sebagainya. Ibu Neng Dara memberikan contoh dari tokoh-tokoh yang ada di dunia seperti Benazir Bhutto. Kesan ketika Bhutto akan memimpin selalu ada kesan bagaimana pemimpin perempuan hanya dapat lahir dari kalangan elit tertentu. Hal ini lebih condong kearah masyarakat feodal yang bagaimana pemimpin sangat ditentukan oleh kharisma dan keturunan, bukan dari kemampuan. Lalu dalam masa Bhutto akan memimpin dia tidak menggunakan politic opportunity untuk mendapatkan jabatannya, sebagai dalam kutipan “pemanfaatan nama besar sebetunya tidak aakan menjadi modal politik yang kuat jika tidak di dukung para patriarki di parlemen sebagaimana yang terjadi pada Benazir Bhutto dan Megawati”. Hambatan atau ganjalan seputar pemimpin perempuan adalah ganjalan teologis. Namun, di buku ini di gambarkan seorang pemimpin perempuan yang sukses, yaitu Ratu Bilqis, dan Siti Khadijah yang rela memberikan hartanya untuk perang, lalu ada Siti Aisyah yang menjadi pemimpin dari perang unta. Kepemimpinan perempuan dan kualitas diri lebih banyak di gambarkan pada masa kepemimpinan dari Megawati, karena terdapat beberapa isu gender di dalam kepemimpinannya Megawati. Yang pertama adalah kekecewaan terhadap kalitas diri dan keraguan pada visi dari Megawati, kedua penentangan yang didasarkan pada pijakan teologis, yang ketiga penentangan terhadap presiden perempuan ini muncul karena kekhawatiran negara ini tidak kuat, sebab secara budaya perempuan sering distreotipekan sebagai manusia lemah.


2. Islam dan Seksualitas Perempuan
      Dalam buku ini, penulis mencoba memaparkan konsep perkawinan pada tiga agama yaitu Yahudi, Kristen, dan Islam. Salah satu fungsi perkawinan menurut tafsir agama-agama adalah untuk menciptakan ketentraman dan kedamaian di antara dua orang anak manusia, laki-laki dan perempuan pada suatu ikrar atau janji suci atas nama Tuhan. Fungsi berikutnya dari perkawinan adalah menghindari praktik hubungan seksual di luar nikah (zina).  Perbuatan ini dikecam oleh hampir semua agama dan dipandang sebagai perbuatan yang tidak bermoral. Gereja Katolik memandang hubungan seks di luar nikah sebagai tindakan pencabulan dan dianggap sebagai perbuatan dosa yang abadi. Agama Islam juga secara tegas dan jelas melarang adanya seks di luar nikah, karena perbuatan ini dipandang sebagai perbuatan yang sangat keji dan jalan yang terburuk.  Lalu didalam perkawinan antar agama terdapat dalam kutipan bahwa di dalam surat Al-Baqarah yang menafsirkan tentang perkawinan harus dilakukan dengan pasangan yang memiliki kesamaan agama, sedangkan didalam agama Katolik perkawinan antara dua orang yang diantaranya satu telah di baptis dalam gereja katolik atau diterima didalamnya dan tidak meninggalkannya secara resmi, sedang yang lain tidak di baptis adalah tidak sah. Hal ini menafsirkan bahwa pernikahan beda agama menurut islam dan katolik tidak sah.

Pada bab ini juga di munculkan tentang poligami didalam dunia islam dan di Indonesia. Poligami adalah praktik perkawinan yang dilakukan oleh seorang laki-laki dengan dua orang istri atau lebih pada saat yang bersamaan. Di dalam struktur masyarakat Arab memiliki 2 pandangan tentang sistem perkawinan. Pertama adalah struktur sosial masyarakat matrilineal yaitu bentuk perkawinan yang mengacu pada garis ibu sebagai rangkaian asal leluhur mereka, kedua adalah menetapkan syarat yang ketat bagi poligami, yaitu keadilan. Sedangkan poligami pada masa Islam bisa dilihat dari Qs Annisa yaitu “jiak kamu khawatir tak dapat berlaku adil terhadap anak anak yatim, kawini lah perempuan-perempuan yatim tersebut sesuai dengan yang kamu sukai; dua, atau tiga atau empat. Namun jika kamu khawatir tidak dapat berlaku adil maka cukup satu saja. Sebab yang demikian (dengan hanya satu tersebut) dapat menjauhkan kamu dari bersikap aniaya”. Poligami di Indonesia sendiri sudah dilakukan oleh Bapak Soekarno, dan Hamzah Haz. Di Indonesia sendiri telah ada pengetatan terhadap poligami contohnya terdapat pada UU Perkawinan No. 1 tahun 1974. Lalu dijelaskan pula tentang pengaruh poligami terhadap laki-laki dan perempuan.

Dalam sub bab ini dijelaskan tentang bagaimana jilbab dan seputar aurat perempuan. Secara harfiah didalam buku ini dijelaskan bahwa aurat adalah bagian tertentu dari tubuh perempuan yang harus di tutup. Dan hal ini berkaitan dengan pandangan umum tentang bagian-bagian tubuh perempuan yang dapat membangkitkan hasrat seksual laki-laki dan dapat menjadi ancaman terjadinya kekacauan sosial. Di dalam pembahasan aurat tersebut, didalam buku ini di ceritakan tentang nabi adam dan hawa yang memakan buah khuldi. Sedangkan jilbab dijelaskan dalam kata jalabib yang berarti busana longgar yang menutupi tubuh dengan penutup kepala lebar yang menutupi leher dan dada, kecuali muka dan telapk tangan. Jilbab ini bisa disebut juga dengan hijab yang berarti menyembunyikan atau tidak membuat kelihatan seseorang dengan menggunakan kain penutup. Jilbab dalam tradisi islam disini di gambarkan dengan perdebatan menutup aurat para ulama islam abad pertengahan, terutama yang terjadi terhadap dinasati Umayyah pada masa pemerintahan al-Walid II (743-744) dan permulaan Khalifah Abbasiyah. Sedangkan jilbab di Indonesia sudah ada sejak terjadinya peristiwa revolusi Iran pada tahun 1979. 

Pada masa reformasi, jilbab mengalami politisasi sedemikian rupa untuk kepentingan politik, untuk meraih suara pemilih demi jabatan Bupati, Gubernur, atau Anggota DPR. Perkawinan dan kontrol atas seksualitas perempuan juga dibahas didalam bab ini, terlebih mendalami dengan pemikiran Ziba Mir-Hosseini. Hukum islam di masa klasik, khususnya hukum keluarga yang hingga sekarang masih diterapkan dinegara berbasis muslimah adalah sebuah produk hukum yang berabad-abad memberikan keistimewaan kepada laki-laki melalui berbagai pengaturannya. Contohnya adalah hukum perkawinan poligamu, dan perceraian, akan tetapi menempatkan perempuan pada posisi inferior. Posisi perempuan dalam produk hukum ini secara sistematis ditempatkan pada posisi yang nilainya kurang dianggap, dan karena perempuan sebagai sujek hukum. Konsep itu lah yang digunakan dalam buku ini sebagaimana yang ada dala Marriage an Trial: A Study of Islamic Family Law. Lalu Ziba juga mengelompokan beberapa kategori mengenai islam yaitu, islam konservatif, islam fundamentalis, sekuler fundamentalis. Hukum islam dibahas di dalam buku ini. Hukum islam itu sendiri dibangun atas fakta bahwa agama ini sejak awal tidak hanya menetapkan spiritual, tetapi juga mengatur ajaran etika sosial dan politik. Hukum keluarga di negara-negara modern juga dibahas dalam buku ini. Uniknya di dalam buku ini dijelaskan bahwa hampur di semua negara muslim, hukum keluarga islam di pertahankan sebagai bagian dari hukum modern. Dalam menggunakan hukum tersebut terdapat dua alasan, diantaranya adalah sebagai bentuk kompromi politik penguasa kolonial terhaadp para ulama menjaga tradisi, dan hukum keluarga dalam perspektif liberal barat merupakan ranah privat, dan karena itu secara politik ia kurang dianggap penting.

3. Perempuan, Islam, dan Negara
     Feminisme adalah sebuah teori yang berusaha menganalisis pelbagai kondisi yang membentuk kehidupan kaum perempuan dan menyelidiki beragam jenis pemahaman kebudayaan mengenai apa artinya menjadi perempuan (Jackson dan Jones (1998: 1). Feminis dan Islam merupakan sebuah teori yang menjembatani kesenjangan antara konsepsi keadilan yang memengaruhi dan menopang penafsiran dominan terhadap syariah di satu sisi, dan HAM di sisi lain. Feminisme Islam di Indonesia sudah dapat dilacak keberadaannya ketika sejumlah kelompok terpelajar muslim berinteraksi dengan gerakan perempuan lain di berbagai belahan dunia, baik di Eropa maupun Timur Tengah. Terdapat dua model organisasi yang mengintegrasikan paradigma feminisme dalam kerangka kerja untuk menegakan hak perempuan dalam kontkes organisasi islam progresif di Indonesia. Yang pertama yaitu paradigma yang diintegrasikan ke dalam kerja-kerja organisasi seperti jaringan islam liberal, dan lain sebagainya. Kedua, kerja-kerja organisasi dengan fokus feminisme dan islam lalu menerjemahkannya dalam bahasa sedehana, mensosialisasikannya melalui berbagai medua pendidikan dan lembaga layanan perempuan korban kekerasan.

Pada sub-bab ini dijelaskan juga tentang gerakan perempuan dalam pembaruan pemikiran Islam di Indonesia. Reinterpretasi Teologis menjadi gagasan pertama yang dibahas dalam persoalan ini. Disini ajaran yang bersifat partikular dan bersifat menjabarkan merupakan ajaran yang bersifat teknis, hukum potong tangan tentu bersifat partikular. Lalu cara memahami islam yang terstruktur, dinamis, dan bisa dipertanggungjawabkan lah tema keagamaan islam yang bias gender bisa ditafsirkan kembali dengan pemaknaan yang memiliki perspektif keadilan gender. Lalu diceritakan tentang bagaimana dari wacana bisa menjadi sebuah gerakan sosial. Hal ini dicontohkan dengan gerakan yang dikembangkan oleh Masdar F. Masudi. Lalu yang digagas oleh Ida Nurhaida Ilyas yang sudah mengembangkan pemberdayaan perempuan. Selanjutnya dari gerakan tersebut bisa menimbulkan gerakan sosial ke kebijakan negara. Perspektif keadilan gender yang diadopsi oleh kelompok perempuan dalam lembaga-lembaga swadaya dan organisasi berbasis massa islam tersebut memungkinkan mereka bersentuhan dan bekerja sama dengan gerakan perempua sekuler. Dari gerakan tersebut lah bisa menciptakan beberapa kebijakan diantaranya adalah adanya peranan wanita dalam GBHN lama menjadi pemberdayaan perempuan. Hal itu tidak berjalan dengan mudah. Melainkan terdapat beberapa tantangan yang harus dihadapi dalam era demokrasi. Diantaranya adalah penolakan yang cukup tajam terhadap gagasan yang diperjuangkan oleh kelompok gerakan perempuan dan lain sebagainya.

Dalam buku ini juga dibahas tentang setiap warga negara berhak atas kebebasan meyakinin kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya. Namun apa yang terdapat dalam konstitusi dan implementasi dilapangan masih terdapat kesenjangan yang sangat jauh, sehingga kekerasan dan marginalisasi terhadap warga negara, khususnya perempuan kelompok minoritas hingga saat ini masih terjadi, penyebabnya antara lain yaitu belum terbatinkannya Undang-Undang Dasar 45 yang menjadi landasan konstitusi kita pada cara berfikis dan berperilaku masyarakat, kurang tersosialisasinya secara luas berbagai Undang-Undang yang melindungi hak-hak perempuan untuk bebas dari kekerasan, lemahnya penegakan hukum yang berakibat pada lemahnya peran negara, pembiaran terhadap milisi sipil yang melakukan tindak kekerasan sebagai wujud dari lemahnya penegakan hukum dan lemahnya peran negara, dan dominannya politisasi identitas sosial dan abainya sebagian masyarakat pada konstitusi negara yang menjamin keragaman atau ke-bhinekaan. Lalu pada sub bab selanjutnya dibahas tentang patriarki dan sektarian: wajah dakwah dalam komunitas islam, organisasi kekerasan dan teror rahim, peran pria dalam perjuangan perempuan, keperawanan dalam perspektif islam, dan inses dalam agama-agama.