Review Buku "Islam, Kepemimpinan Perempuan, dan Seksualitas" Karya Neng Dara Affiah
Assalamualaikum
Warahmatullahi Wabarakaatuh
Pada kesempatan kali ini, saya Sheni Syania
mahasiswi Sosiologi UIN Jakarta Semester 4 akan membagikan review buku yang
berjudul “Islam, Kepemimpinan Perempuan, dan Seksualitas” yang ditulis oleh
dosen saya yang mengajar mata kuliah metode penelitian kualitatif di semester
4, dan mata kuliah teori sosiologi modern di semester 3 yaitu Ibu Neng Dara
Affiah. Sebelum kita memulai mereview buku beliau, saya akan memaparkan biodata
singkat tentang beliau. Ibu Neng Dara Affiah lahir di Pandeglang, Banten pada
10 Desember 1969. Ia adalah pengajar tetap di Universitas Nahdatul Ulama
Indonesia (UNUSIA) program sosiologi dan humaniora, dan menjadi dosen tamu di
beberapa universitas, seperti pascasarjana Universitas Indonesia (UI),
pascasarjana Universitas Muhammadiyah
Malang (UMM), dan Sekolah Tinggi Teologi Jakarta (STTJ). Ia juga konsultan The
Asia Foundation (TAF) untuk hak-hak konstitusional perempuan (2017), Dewan
Pengarah World Culture Forum (WCF) Kemendikbud-Unesco (2016).
Dalam pengalaman organisasi, ia turut membidani
berdirinya organisasi Alimat, gerakan
perempuan untuk perubahan hukum keluarga Indonesia. Neng Dara menyelesaikan
pendidikan Doktor (S3) dan Masternya (S2) di Universitas Indonesia (UI),
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), Departemen Sosiologi dan ia
menyelesaikan pendidikan Sarjana S1 pada Institut Agama Islam Negeri (IAIN)
“SyarifHidayatullah” Jakarta, Fakultas Ushuluddin (Teologi) Jurusan
Perbandingan Agama (1993). Tahun 2007, ia mengikuti pendidikan HAM di New
Zealand dan tahun 2004 mengikuti pendidikan Pluralisme Agama di Amerika Serikat.
1. Islam dan Kepemimpinan Perempuan
Memandang manusia secara setara dengan tidak
membeda-bedakannya berdasarkan kelas sosial, ras, dan jenis kelamin adalah
salah satu keutamaan ajaran dalam agama Islam. Dalam sejarah Islam, orang yang
pertama kali menangkap dan menghayati kebenaran Islam adalah seorang perempuan
(Khadijah). Dialah yang meyakinkan Nabi bahwa ia adalah seorang utusan Allah
atau disebut dengan Rasulullah yang harus menyampaikan ajaran-Nya kepada umat
manusia. Perempuan lain yang paling dekat dan disayang Rasulullah adalah
Aisyah. Rasulullah mengajarkan separuh pengetahuan yang dimilikinya kepada
Aisyah.
Kemunculan
pemimpin perempuan dalam percatutan masyarakat muslim hampir dipastikan ada
hubungannya dengan nama-nama besar yang berkaitan dengan ayah ataupun suaminya.
Di negeri ini juga terdapat beberapa perempuan dalam sejarah islam yang menoreh
dirinya sebagai pemimpin, diantaranya ada Ratu Tajul Alam Shafiyatuddin Syah, Ratu
Nur Alam Naqiyatuddin Syah, Ratu Inaytsyah Zaiyatuddin Syah, dan Ratu Kamalat Syah. Lalu di dalam buku ini di
jelaskan bahwa walaupun ajaran islam itu sendiri tidak membatasi perempuan
untuk menjadi pemimpin, namun pemimpin perempuan itu sendiri masih sedikit di
kalangan umat islam. Hal tersebut disebabkan karena banyaknya salah kaprah
tentang pemahaman dari ajaran Islam itu sendiri, lalu ego kolektif masyarakat
muslim yang melanggengkan nilai-nilai patriarki.
Pokok dari dasar otonomi diri adalah bagaimana
perkembangan hidup seseorang, di tentukan dengan bagaimana individu tersebut
membawa dirinya didalam kelompok pergaulan dan sebagainya. Ibu Neng Dara
memberikan contoh dari tokoh-tokoh yang ada di dunia seperti Benazir Bhutto.
Kesan ketika Bhutto akan memimpin selalu ada kesan bagaimana pemimpin perempuan
hanya dapat lahir dari kalangan elit tertentu. Hal ini lebih condong kearah
masyarakat feodal yang bagaimana pemimpin sangat ditentukan oleh kharisma dan
keturunan, bukan dari kemampuan. Lalu dalam masa Bhutto akan memimpin dia tidak
menggunakan politic opportunity untuk mendapatkan jabatannya, sebagai dalam
kutipan “pemanfaatan nama besar sebetunya tidak aakan menjadi modal politik
yang kuat jika tidak di dukung para patriarki di parlemen sebagaimana yang
terjadi pada Benazir Bhutto dan Megawati”. Hambatan atau ganjalan seputar
pemimpin perempuan adalah ganjalan teologis. Namun, di buku ini di gambarkan
seorang pemimpin perempuan yang sukses, yaitu Ratu Bilqis, dan Siti Khadijah
yang rela memberikan hartanya untuk perang, lalu ada Siti Aisyah yang menjadi
pemimpin dari perang unta. Kepemimpinan perempuan dan kualitas diri lebih
banyak di gambarkan pada masa kepemimpinan dari Megawati, karena terdapat
beberapa isu gender di dalam kepemimpinannya Megawati. Yang pertama adalah
kekecewaan terhadap kalitas diri dan keraguan pada visi dari Megawati, kedua
penentangan yang didasarkan pada pijakan teologis, yang ketiga penentangan
terhadap presiden perempuan ini muncul karena kekhawatiran negara ini tidak
kuat, sebab secara budaya perempuan sering distreotipekan sebagai manusia
lemah.
2. Islam dan Seksualitas Perempuan
Dalam
buku ini, penulis mencoba memaparkan konsep perkawinan pada tiga agama yaitu
Yahudi, Kristen, dan Islam. Salah satu fungsi perkawinan menurut tafsir
agama-agama adalah untuk menciptakan ketentraman dan kedamaian di antara dua
orang anak manusia, laki-laki dan perempuan pada suatu ikrar atau janji suci
atas nama Tuhan. Fungsi berikutnya dari perkawinan adalah menghindari praktik
hubungan seksual di luar nikah (zina). Perbuatan ini dikecam oleh hampir semua agama
dan dipandang sebagai perbuatan yang tidak bermoral. Gereja Katolik memandang
hubungan seks di luar nikah sebagai tindakan pencabulan dan dianggap sebagai
perbuatan dosa yang abadi. Agama Islam juga secara tegas dan jelas melarang
adanya seks di luar nikah, karena perbuatan ini dipandang sebagai perbuatan
yang sangat keji dan jalan yang terburuk.
Lalu didalam perkawinan antar agama terdapat dalam kutipan bahwa di dalam
surat Al-Baqarah yang menafsirkan tentang perkawinan harus dilakukan dengan
pasangan yang memiliki kesamaan agama, sedangkan didalam agama Katolik
perkawinan antara dua orang yang diantaranya satu telah di baptis dalam gereja
katolik atau diterima didalamnya dan tidak meninggalkannya secara resmi, sedang
yang lain tidak di baptis adalah tidak sah. Hal ini menafsirkan bahwa
pernikahan beda agama menurut islam dan katolik tidak sah.
Pada
bab ini juga di munculkan tentang poligami didalam dunia islam dan di
Indonesia. Poligami adalah praktik perkawinan yang dilakukan oleh seorang laki-laki
dengan dua orang istri atau lebih pada saat yang bersamaan. Di dalam struktur
masyarakat Arab memiliki 2 pandangan tentang sistem perkawinan. Pertama adalah
struktur sosial masyarakat matrilineal yaitu bentuk perkawinan yang mengacu
pada garis ibu sebagai rangkaian asal leluhur mereka, kedua adalah menetapkan
syarat yang ketat bagi poligami, yaitu keadilan. Sedangkan poligami pada masa
Islam bisa dilihat dari Qs Annisa yaitu “jiak kamu khawatir tak dapat berlaku
adil terhadap anak anak yatim, kawini lah perempuan-perempuan yatim tersebut
sesuai dengan yang kamu sukai; dua, atau tiga atau empat. Namun jika kamu
khawatir tidak dapat berlaku adil maka cukup satu saja. Sebab yang demikian
(dengan hanya satu tersebut) dapat menjauhkan kamu dari bersikap aniaya”.
Poligami di Indonesia sendiri sudah dilakukan oleh Bapak Soekarno, dan Hamzah
Haz. Di Indonesia sendiri telah ada pengetatan terhadap poligami contohnya
terdapat pada UU Perkawinan No. 1 tahun 1974. Lalu dijelaskan pula tentang
pengaruh poligami terhadap laki-laki dan perempuan.
Dalam sub bab ini dijelaskan tentang bagaimana
jilbab dan seputar aurat perempuan. Secara harfiah didalam buku ini dijelaskan bahwa aurat adalah
bagian tertentu dari tubuh perempuan yang harus di tutup. Dan hal ini berkaitan
dengan pandangan umum tentang bagian-bagian tubuh perempuan yang dapat
membangkitkan hasrat seksual laki-laki dan dapat menjadi ancaman terjadinya
kekacauan sosial. Di dalam pembahasan aurat tersebut, didalam buku ini di
ceritakan tentang nabi adam dan hawa yang memakan buah khuldi. Sedangkan jilbab
dijelaskan dalam kata jalabib yang berarti busana longgar yang menutupi tubuh
dengan penutup kepala lebar yang menutupi leher dan dada, kecuali muka dan
telapk tangan. Jilbab ini bisa disebut juga dengan hijab yang berarti
menyembunyikan atau tidak membuat kelihatan seseorang dengan menggunakan kain
penutup. Jilbab dalam tradisi islam disini di gambarkan dengan perdebatan
menutup aurat para ulama islam abad pertengahan, terutama yang terjadi terhadap
dinasati Umayyah pada masa pemerintahan al-Walid II (743-744) dan permulaan
Khalifah Abbasiyah. Sedangkan jilbab di Indonesia sudah ada sejak terjadinya
peristiwa revolusi Iran pada tahun 1979.
Pada masa reformasi, jilbab mengalami politisasi sedemikian rupa untuk kepentingan politik, untuk meraih suara pemilih demi jabatan Bupati, Gubernur, atau Anggota DPR. Perkawinan dan kontrol atas seksualitas perempuan juga dibahas didalam bab ini, terlebih mendalami dengan pemikiran Ziba Mir-Hosseini. Hukum islam di masa klasik, khususnya hukum keluarga yang hingga sekarang masih diterapkan dinegara berbasis muslimah adalah sebuah produk hukum yang berabad-abad memberikan keistimewaan kepada laki-laki melalui berbagai pengaturannya. Contohnya adalah hukum perkawinan poligamu, dan perceraian, akan tetapi menempatkan perempuan pada posisi inferior. Posisi perempuan dalam produk hukum ini secara sistematis ditempatkan pada posisi yang nilainya kurang dianggap, dan karena perempuan sebagai sujek hukum. Konsep itu lah yang digunakan dalam buku ini sebagaimana yang ada dala Marriage an Trial: A Study of Islamic Family Law. Lalu Ziba juga mengelompokan beberapa kategori mengenai islam yaitu, islam konservatif, islam fundamentalis, sekuler fundamentalis. Hukum islam dibahas di dalam buku ini. Hukum islam itu sendiri dibangun atas fakta bahwa agama ini sejak awal tidak hanya menetapkan spiritual, tetapi juga mengatur ajaran etika sosial dan politik. Hukum keluarga di negara-negara modern juga dibahas dalam buku ini. Uniknya di dalam buku ini dijelaskan bahwa hampur di semua negara muslim, hukum keluarga islam di pertahankan sebagai bagian dari hukum modern. Dalam menggunakan hukum tersebut terdapat dua alasan, diantaranya adalah sebagai bentuk kompromi politik penguasa kolonial terhaadp para ulama menjaga tradisi, dan hukum keluarga dalam perspektif liberal barat merupakan ranah privat, dan karena itu secara politik ia kurang dianggap penting.
Pada masa reformasi, jilbab mengalami politisasi sedemikian rupa untuk kepentingan politik, untuk meraih suara pemilih demi jabatan Bupati, Gubernur, atau Anggota DPR. Perkawinan dan kontrol atas seksualitas perempuan juga dibahas didalam bab ini, terlebih mendalami dengan pemikiran Ziba Mir-Hosseini. Hukum islam di masa klasik, khususnya hukum keluarga yang hingga sekarang masih diterapkan dinegara berbasis muslimah adalah sebuah produk hukum yang berabad-abad memberikan keistimewaan kepada laki-laki melalui berbagai pengaturannya. Contohnya adalah hukum perkawinan poligamu, dan perceraian, akan tetapi menempatkan perempuan pada posisi inferior. Posisi perempuan dalam produk hukum ini secara sistematis ditempatkan pada posisi yang nilainya kurang dianggap, dan karena perempuan sebagai sujek hukum. Konsep itu lah yang digunakan dalam buku ini sebagaimana yang ada dala Marriage an Trial: A Study of Islamic Family Law. Lalu Ziba juga mengelompokan beberapa kategori mengenai islam yaitu, islam konservatif, islam fundamentalis, sekuler fundamentalis. Hukum islam dibahas di dalam buku ini. Hukum islam itu sendiri dibangun atas fakta bahwa agama ini sejak awal tidak hanya menetapkan spiritual, tetapi juga mengatur ajaran etika sosial dan politik. Hukum keluarga di negara-negara modern juga dibahas dalam buku ini. Uniknya di dalam buku ini dijelaskan bahwa hampur di semua negara muslim, hukum keluarga islam di pertahankan sebagai bagian dari hukum modern. Dalam menggunakan hukum tersebut terdapat dua alasan, diantaranya adalah sebagai bentuk kompromi politik penguasa kolonial terhaadp para ulama menjaga tradisi, dan hukum keluarga dalam perspektif liberal barat merupakan ranah privat, dan karena itu secara politik ia kurang dianggap penting.
3. Perempuan, Islam, dan Negara
Feminisme adalah sebuah teori yang
berusaha menganalisis pelbagai kondisi yang membentuk kehidupan kaum perempuan
dan menyelidiki beragam jenis pemahaman kebudayaan mengenai apa artinya menjadi
perempuan (Jackson dan Jones (1998: 1). Feminis dan Islam merupakan sebuah
teori yang menjembatani kesenjangan antara konsepsi keadilan yang memengaruhi
dan menopang penafsiran dominan terhadap syariah di satu sisi, dan HAM di sisi
lain. Feminisme Islam di
Indonesia sudah dapat dilacak keberadaannya ketika sejumlah kelompok terpelajar
muslim berinteraksi dengan gerakan perempuan lain di berbagai belahan dunia,
baik di Eropa maupun Timur Tengah. Terdapat dua model organisasi yang
mengintegrasikan paradigma feminisme dalam kerangka kerja untuk menegakan hak
perempuan dalam kontkes organisasi islam progresif di Indonesia. Yang pertama yaitu
paradigma yang diintegrasikan ke dalam kerja-kerja organisasi seperti jaringan
islam liberal, dan lain sebagainya. Kedua, kerja-kerja organisasi dengan fokus
feminisme dan islam lalu menerjemahkannya dalam bahasa sedehana,
mensosialisasikannya melalui berbagai medua pendidikan dan lembaga layanan
perempuan korban kekerasan.
Pada sub-bab ini
dijelaskan juga tentang gerakan
perempuan dalam pembaruan pemikiran Islam di Indonesia. Reinterpretasi Teologis
menjadi gagasan pertama yang dibahas dalam persoalan ini. Disini ajaran yang
bersifat partikular dan bersifat menjabarkan merupakan ajaran yang bersifat
teknis, hukum potong tangan tentu bersifat partikular. Lalu cara memahami islam
yang terstruktur, dinamis, dan bisa dipertanggungjawabkan lah tema keagamaan
islam yang bias gender bisa ditafsirkan kembali dengan pemaknaan yang memiliki
perspektif keadilan gender. Lalu diceritakan tentang bagaimana dari wacana bisa
menjadi sebuah gerakan sosial. Hal ini dicontohkan dengan gerakan yang
dikembangkan oleh Masdar F. Masudi. Lalu yang digagas oleh Ida Nurhaida Ilyas
yang sudah mengembangkan pemberdayaan perempuan. Selanjutnya dari gerakan
tersebut bisa menimbulkan gerakan sosial ke kebijakan negara. Perspektif
keadilan gender yang diadopsi oleh kelompok perempuan dalam lembaga-lembaga
swadaya dan organisasi berbasis massa islam tersebut memungkinkan mereka
bersentuhan dan bekerja sama dengan gerakan perempua sekuler. Dari gerakan
tersebut lah bisa menciptakan beberapa kebijakan diantaranya adalah adanya
peranan wanita dalam GBHN lama menjadi pemberdayaan perempuan. Hal itu tidak
berjalan dengan mudah. Melainkan terdapat beberapa tantangan yang harus
dihadapi dalam era demokrasi. Diantaranya adalah penolakan yang cukup tajam
terhadap gagasan yang diperjuangkan oleh kelompok gerakan perempuan dan lain
sebagainya.
Dalam buku ini juga dibahas tentang setiap warga negara
berhak atas kebebasan meyakinin kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap
sesuai dengan hati nuraninya. Namun apa yang terdapat dalam konstitusi dan
implementasi dilapangan masih terdapat kesenjangan yang sangat jauh, sehingga
kekerasan dan marginalisasi terhadap warga negara, khususnya perempuan kelompok
minoritas hingga saat ini masih terjadi, penyebabnya antara lain yaitu belum
terbatinkannya Undang-Undang Dasar 45 yang menjadi landasan konstitusi kita pada
cara berfikis dan berperilaku masyarakat, kurang tersosialisasinya secara luas
berbagai Undang-Undang yang melindungi hak-hak perempuan untuk bebas dari
kekerasan, lemahnya penegakan hukum yang berakibat pada lemahnya peran negara,
pembiaran terhadap milisi sipil yang melakukan tindak kekerasan sebagai wujud
dari lemahnya penegakan hukum dan lemahnya peran negara, dan dominannya
politisasi identitas sosial dan abainya sebagian masyarakat pada konstitusi
negara yang menjamin keragaman atau ke-bhinekaan. Lalu pada sub bab selanjutnya
dibahas tentang patriarki dan sektarian: wajah dakwah dalam komunitas islam,
organisasi kekerasan dan teror rahim, peran pria dalam perjuangan perempuan,
keperawanan dalam perspektif islam, dan inses dalam agama-agama.